Sulit Menindak Usaha Yang Tidak Ramah Anak di Toba, Sofyan: Bikin Petisi!

DELFMRADIO.CO.ID – Toba

Terjadinya peningkatan pariwisata di sebuah daerah merupakan kabar baik karena mendatangkan banyak sumber pendapatan. Namun jangan lupa, banyaknya orang masuk juga berpotensi menimbulkan risiko terjadinya kekerasan seksual khususnya pada anak.

Hal itu disampaikan secara gamblang pada acara Pelatihan Pembentukan Wisata Pedesaan Ramah Anak, Senin, 18 September 2023 di Sere Nauli Hotel, Laguboti, Kabupaten Toba. Turut hadir dalam pelatihan itu pelaku wisata dari beberapa desa di Kabupaten Toba, pelajar juga media.

Baca Juga | Sepanjang 2021, Ada 15 Kasus Kekerasan yang Ditangani Dinas PMDPPA Toba

BIG5!

Pembicara, Dr Ahmad Sofian yang merupakan koordinator nasional Ecpat Indonesia, menyebut bahwa bisnis dalam hal ini berkaitan dengan pariwisata perlu memperhatikan hal tersebut dengan baik. Menurutnya, semua pihak perlu mengupayakan langkah-langkah yang komprehensif bagi sektor bisnis untuk menghormati dan mendukung hak-hak anak.

“Semakin aware pebisnis dengan keamanan seperti itu, maka tingkat kepercayaan pengunjung juga makin besar. Ya, kalau ada yang nggak merasa nyaman dengan aturannya, anggap saja mereka bukan target pasar,” jelasnya.

Sofian menerangkan, perusahaan bertanggung jawab menghormati hak, termasuk hak anak, sesuai dengan Panduan Prinsip tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Aturannya jelas, jadi jika pengusaha melakukan pelanggaran maka ada sanksi yang akan mengikuti.

“Kalau terbukti ada pelanggaran, kita punya setidaknya enam aturan hukum terkait perlindungan anak dari eksploitasi seksual,” sebutnya.

Adapun beberapa perbuatan yang dilarang dalam undang-undang perlindungan anak adalah eksploitasi seksual, perdagangan, persetubuhan hingga pencabulan anak. Jika terjadi, jelas Sofian, hukumannya bahkan bisa mencapai hukuman seumur hidup/mati, hingga kebiri kimiawi.

Bikin Petisi!

Pada pelatihan tersebut, seorang peserta pelatihan kemudian berkisah tentang sulitnya menertibkan pebisnis yang usahanya tidak ramah anak. Ia mencontohkan keberadaan sebuah warung di desanya di Kabupaten Toba yang beroperasi justru mulai pukul 23.00 wib hingga 03.00 wib dini hari.

Kata peserta, warung tersebut juga tidak mencantumkan tanda usia minimal pengunjung. Malah menimbulkan suara-suara berisik yang kerap mengganggu warga termasuk anak-anak di desanya.

“Kalau kita menegur, pemilik cuma bilang di jam-jam itunya orang rame datang. Jadi kekmana kami mau tutup lebih cepat. Tapi mereka itu bukan warga kita, padahal kita nggak punyak hak untuk menutup. Udah lapor juga ke Kabupaten tapi belum ada tanggapan yang konkret,” cerita peserta yang juga merupakan seorang kepala desa.

Menanggapi itu, Sofian yang punya background sebagai Dosen Hukum Bisnis di Binus University tersebut mengaku kerap menjumpai kasus serupa di berbagai daerah. Menurut pengalamannya, warung-warung seperti itu sulit dibabat karena biasanya ada backing-annya.

“Jadi memang kayak gitu susah membabatnya, karena peminatnya juga ada-ada aja. Bahkan kalau ada penelusuran bisa jadi ada oknum tinggi yang melindunginya,” papar dia.

Sofian lalu memberi contoh kasus serupa yang pernah terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Menurutnya, warga dari beberapa desa di daerah itu kompak ingin menutup sebuah warung yang kerap jadi tempat prostitusi, melalui sebuah petisi.

Petisi berbentuk pengumpulan tanda tangan itu berhasil menarik perhatian lebih banyak terkait hal yang menggelisahkan warga. Lanjut Sofian, hal serupa bisa coba diterapkan di Toba jika memang pemerintah tidak menindaklanjuti laporan.

“Petisi ya, tanda tangan, lalu sampaikan kepada pemerintah, kepada pusat. Akhirnya mau nggak mau oknum-oknum itu juga mulai kabur karena petisi itu sudah mendapat perhatian dari pusat,” katanya.

Menurut penjelasan Sofyan, petisi itu merupakan hak seseorang untuk menyampaikan bahwa bisnis itu telah mengganggu kenyamanan dan keamanan bagi anak-anak yang ada di desa tersebut.

(RMN)

Leave a Comment.