Gondang Simbol Penyambung Doa, Mainkan di Tempat Tertinggi Biar Terkabul?
Bunyi yang dikeluarkan dari alat musik gondang bukan sekadar bunyi-bunyian yang menyemarakkan suasana. Lalu apa? Menurut buku berjudul Kontenporer (2000: 77), bunyi dari dari alat musik gondang merupakan sebuah simbol penghubung untuk menyampaikan doa-doa dan pemujaan kepada penguasa alam.
Pemahaman itulah yang membuat masyarakat kerap memainkan alat musik gondang di atas rumah atau panggung. Mereka meyakini bahwa makin tinggi posisi pemain saat memainkan gondang, maka doa yang mereka sampaikan akan terkabul.
Baca juga: Bikinnya Cuma Dikepal, Tapi Itak Gurgur Kok Bisa Enak, Sih?
Alat musik gondang memiliki desain tangga nada unik yang membuatnya berbeda dari tangga nada musik Barat. Jika musik Barat memiliki tujuh tingkatan nada, do ke si, gondang hanya memiliki lima tingkatan nada diatonis mayor, yaitu do, re, mi, fa, sol.
“Keunikan nada ini sulit ditemukan di tempat lain di dunia. Bahkan, dibandingkan dengan musik pentatonik yang hampir sejenis, seperti gamelan Jawa dan Bali, gondang tetap berbeda,” dikutip dari tulisan buku berjudul Raja Patik, (2001:61).
Ketukan melodi gamelan Jawa dan Bali cenderung pakem, sedangkan gondang dimainkan lebih bervariasi. Hal itu tergantung dari improvisasi dan estetis pemain sarune dan taganing, yang kadang bahkan bermain seperti sedang trance atau kesurupan.
Alat Musik Jadi Pemersatu
Meski sakral dan sering dimainkan untuk kegiatan adat-istiadat, gondang juga menjadi sumber kearifan dalam kehidupan sehari-hari. Ensambel tradisional ini mengajarkan tiga hal, seperti kebersamaan, empati, dan simpati.
Ketiga hal dasar tersebut dipercayai mampu membuat penabuh ogung, penabuh taganing, dan peniup sarune bisa menghasilkan harmoni yang menggerakkan orang lain untuk menari tortor.
Seperti diketahui, dalam formasi lengkap, konser musik gondang biasanya dimainkan oleh 8 hingga 10 orang. Terdiri dari 5 gendang (gondang sabangunan), 3-4 ogung atau gong, sarune (terompet dari bambu) dan 1 hesek (perkusi).
Di buku filsafat batak berjudul kebiasaan- kebiasaan adat istiadat (1978:23), dikatakan bahwa antar-pargonsi (pemain gondang) biasanya terdapat rasa solidaritas yang kukuh. Kalau ada seorang pargonsi sakit, maka pargonsi lainnya akan bahu-membahu meringankan bebannya dengan menyumbang uang dan menjenguk.
“Mereka juga saling membantu ketika ada yang kekurangan penabuh taganing atau pemain sarune,” tulisnya.
Pemusik menganut pemahaman, uang tidak lebih penting dari kerabat pargonsi. Jadi jangan sampai upacara adat gagal dilakukan karena kekurangan pargonsi.
“Para pargonsi menyakini, semakin bagus permainan, semakin banyak orang yang larut dalam alunan gondang,” tulisnya.
Kekompakan itu dipercayai menyatu dalam permainan musik. Makanya, saat gondang dimainkan, warga bisa larut dalam alunan dan tanpa sadar, masyarakat bisa bergoyang dan menortor bersama mengikuti irama musik. (RMN)