Ditolak Selama Enam Tahun, Ini 10 Poin Krusial Undang- Undang Kekerasan Seksual Yang Akhirnya Disahkan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Selasa (12/04), setelah enam tahun terus dibahas dan jadi polemik di Senayan.

Dilansir dari banyak sumber, UU TPKS ini merupakan undang-undang yang berpihak kepada korban. Melalui undang-undang ini pula aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual.

Adapun UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah juga melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.

Apa saja poin pentingnya?

  1. Perilaku pelecehan seksual tergolong kekerasan seksual

Setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dengan hukuman pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.

  1. Melindungi korban revenge porn

Ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.

  1. Pemaksaan hubungan seksual

Setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200 juta.

  1. Pemaksaan perkawinan

Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan dengan ancaman pidana paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

  1. Pelaku Kekerasan Seksual Bisa Dikenai Pidana dan Denda

Selain pidana penjara dan denda, pelaku TPKS dapat dijatuhi pidana tambahan seperti Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, Pengumuman identitas pelaku, Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau Pembayaran Restitusi (pembayaran ganti kerugian).

Baca juga : Sepanjang 2021, Ada 15 Kasus Kekerasan yang Ditangani Dinas PMDPPA Toba

  1. Korporasi tindak TPKS bisa dikenai pidana dan denda

Pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar serta pidana tambahan berupa Pembayaran Restitusi, Pembiayaan pelatihan kerja, Perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS, Pencabutan izin tertentu, Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korperasi hingga Pembubaran korporasi

  1. Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa

Keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1 alat bukti sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa. Alat bukti yang sah yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

  1. Korban Berhak Dapat Restitusi Dan Layanan Pemulihan

Korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Diantaranya, Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau, ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana

  1. Korban TPKS Berhak Dapat Pendampingan

Korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

  1. Tidak Ada Restorative Justice

Penyelesaian kekerasan tindak pidana seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice  atau penyelesaian suatu perkara dengan menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.  (RMN)

Leave a Comment.