Ratnauli Gultom, Perempuan Batak yang Konsisten Menjaga Sustanaible Tourism di Danau Toba

DELFMRADIO.CO.ID

Senyuman milik perempuan berahang tajam itu mengiringi derap langkah kakinya saat mengitari meja tamu- tamu. Gelak tawanya sesekali terdengar, kala ia bercengkrama dengan para tamu yang sedang menikmati suasana sejuk di Eco Village Silimalombu.

Ratnauli Gultom, begitu nama perempuan itu, merupakan pengelola sekaligus pemilik homestay bernama Eco Village Silimalombu. Sudah sejak tahun 2011, ia dan suaminya, Thomas Heinle, mengelola homestay tersebut dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan bagi mereka.

Sekilas melihat, sepertinya tidak ada yang spesial dari homestay yang berada di kawasan Danau Toba tepatnya Kecamatan Onan Runggu, Kabupaten Samosir tersebut. Hanya sebuah penginapan sederhana yang berada layaknya di tengah hutan yang terpelihara.

Namun jangan sepele, dari penuturan Ratna, hampir 90 persen tamu yang menginap di sana justru adalah tamu dari luar negeri. Kebanyakan dari mereka justru tertarik dengan kekayaan alam Danau Toba yang tak bisa mereka dapatkan di negara mereka.

“Ada tamu yang biasa hanya ingin menikmati makan siang aja. Itu memang kebanyakan tamunya orang China, Batak dan Asing. Tapi untuk menginap, kebanyakan orang asing, karena mereka paling tertarik dengan local style. Buat mereka itu hal baru dan excited, bagaimana melihat sirsak tumbuh, bisa panen langsung, membuka dan memakannya.” tukas Ratna sembari membayangkan momen- momen itu.

Sambil tertawa kecil, Ratna lalu teringat dengan tingkah lucu tamunya yang mengira bahwa buah nenas tumbuh di pohon. Tamu yang notabene adalah bule itu mengaku kepada Ratna, kala itu adalah pertama kalinya ia melihat nenas tumbuh dekat dengan tanah.

“Paling lucu, nenas mereka pikir bentuk asalnya dari pohon ternyata akarnya kan pendek. Mereka kaget. Kita bersyukur kekayaan kita tidak bisa dicuri, semua bisa tumbuh.” katanya mensyukuri.

Kisah itu, bagi Ratna, membuktikan bahwa kekayaaan alam Danau Toba menjadi keunikan tersendiri karena tidak akan pernah ada di kota-kota besar. Mungkin saja, hal itu menjadi biasa bagi sebagian wisatawan lokal, tetapi bagi wisatawan asing hal tersebut adalah keunikan.

berkelanjutan…

Pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism menjadi kian populer belakangan ini. Pegiat wisata terus didesak untuk mengembangkan konsep berwisata yang dapat dapat memberikan dampak jangka panjang.

Baik itu terhadap lingkungan, sosial, budaya, sampai ke peningkatan taraf ekonomi bagi masyarakat lokal maupun wisatawan yang berkunjung. Dengan begitu, manusia mendapatkan untung, tapi sekaligus tumbuhan dan hewan juga terjaga.

“Kita (Eco Village Silimalombu) lebih menekankan sustainable tourism dan eco farm, organic farm. Kita berupaya untuk melakukan pertanian yang sustainable, mencoba model tanam sekali panen selamanya,” ujarnya.

Ibarat tanaman, sambungnya, mulai dari batang, daun, sampai ke buahnya harus bisa terpakai tanpa ada yang terbuang sia-sia. Begitulah konsep berkelanjutan.

“Itu kenapa kita tanam talas atau sayur-sayuran seperti daun ubi, bangun-bangun, jipang atau labu siam. Karena tanaman-tanaman itu, mulai dari pucuk daun sampai ke buah dan lainnya bisa kita kelola, tanpa ada yang terbuang,” ujar dia.

Hal yang menarik, saat Ratna meyakinkan bahwa hampir semua bahan makanan dan minuman yang tersaji bagi tamunya, itu berasal dari kebun di sekitar homestay. Setiap hari, ia memanen sendiri sayur-mayur, buah-buahan dan beberapa bumbu dapur untuk diolah sesuai dengan kebutuhan.

“Mungkin kami hanya membeli garam. Selain itu, semuanya tersedia.” candanya sembari memandang sekeliling.

Sejak awal, Ratna berceloteh bahwa ia berupaya konsisten untuk menerapkan konsep berkelanjutan. Dan siapa sangka, seiring dengan itu, ia dapat terus mengembangkan usaha penginapannya.

Ratna berkisah, ia bersama suami kerap melakukan inovasi agar tamu mau menginap berhari-hari. Selain fasilitas kamar yang nyaman, mereka menawarkan aktivitas Sauna yang terbuat dari tanah liat, memancing ikan sampai berenang di Danau Toba.

Tak hanya aktivitas, Ratna berkisah, tamu- tamu kerap disuguhkan dengan menu kuliner yang menarik. Mulai dari Salad Jipang, Ikan Natinombur, Pizza dan sebagainya. Namun yang paling populer adalah wine Mangga.

Cerita Ratna, ada pohon mangga yang usianya sudah mencapai 500an- tahun tertanam di lokasi homestay. Tetapi pohon tersebut masih tumbuh dan menghasilkan buah yang lebat.

Ketika musim, cerita dia, Buah Mangga tersebut sangat melimpah dan jika sudah matang akan jatuh langsung ke atas batu-batu. Dari pada terbuang, maka Ratna berinovasi untuk mengolahnya menjadi minuman bagi tamu.

“Ketika jatuh dia pecah. Tapi justru yang jatuh itu mangganya cukup matang dan bagus sekali untuk fermentasi mangga. Kalau kita panen sendiri, justru agak masam dan kurang pas untuk fermentasi,” jelasnya.

Kebetulan pula, tamu- tamu bule yang datang ke tempatnya biasanya doyan meminum wine. Maka kata Ratna, sekali lagi mereka memanfaatkan peluang tersebut untuk menambah pundi-pundi rezeki.

“Kenapa kita harus mendatangkan minuman-minuman mereka dari luar negeri. Sementara dalam negeri ada banyak yang bisa kita manfaatkan. Pemanfaatan itu menjadi sangat penting.” pungkasnya

tampil dengan tudung

Tudung (baca: tujung dalam Bahasa Batak) adalah sesuatu yang dipakai untuk menutup atau melingkupi bagian atas termasuk kepala. Di masyarakat Batak, umumnya yang mengenakan tudung adalah kaum perempuan.

Ratna adalah salah satu perempuan yang terkenal sebagai seorang pegiat wisata yang sering terlihat mengenakan tudung di kepalanya. Layaknya identitas, ia kerap menggunakan tudung dalam setiap pertemuan yang ia hadiri.

Berdasarkan asal usul,membeberkan tudung itu adalah simbol yang melekat bagi seorang petani termasuk di Toba.

“Rata-rata ibu petani yang di kawasan Danau Toba itu selalu memakai tudung kalau mau pergi ke ladang. Umumnya tudung itu berasal dari tenunan yang berasal dari Balige (salah satu kecamatan di Kabupaten Toba,” jelasnya.

Tudung menurut Ratna, berfungsi untuk melindungi kepala baik dari panasnya matahari maupun dari air hujan yang turun saat petani berladang.

“Jadi petani itu bisa terus melakukan pekerjaan di ladang, meskipun panas atau pun hujan,” sampainya.

Selain itu, jelas Ratna, tudung juga dipakai petani untuk menjadi alas atau laman (Bahasa Batak) untuk membawa kayu bakar ke rumah. Termasuk menjadi alas untuk membawa hasil ladang seperti ubi kayu dan lain-lainnya.

Tak hanya itu, menurut Ratna, tudung juga bisa berubah fungsi menjadi sarung untuk duduk.

“Pada umumnya, orang Batak itu kalau datang mertua atau abang laki-laki suaminya (haha doli) perlu memakai sarung, jadi tudung ini bisa berubah fungsinya. Jadi multifungsi,” tambahnya.

Namun bagi Ratna, alasan utama ia memakai tudung ialah karena kebanggaannya menjadi seorang petani. Tudung itu menjadi identitas petani yang ingin ia perkenalkan sebagai kekayaan budaya di kawasan Danau Toba.

“Tapi yang terutama adalah menunjukkan kita sebagai petani. Karena saya petani harus saya tunjukkan. Jadi ke mana pun aku pergi atau siapa pun yang mengundang, urusan apa pun aku tetap memakai tudung ini. Karena ini adalah identitas petani,”tutupnya.

(RMN)

Leave a Comment.